Blog

Juni 15, 2020

Drone VTOL buatan anak bangsa – APDI Regional Sulsel

Drone buatan anak bangsa ini adalah drone Vtol yang di buat dan dikembangkan langsung oleh Anggota APDI Sulsel yaitu , Naufal . Drone ini sudah dipakai untuk bekerja dan penelitian. Naufal selain Ketua APDI Regional Sulsel juga aktif mengajar dan mengembangkan Drone. Berikut cerita dari Nauval.  Minat yang tinggi untuk penggunaan dan pemanfaatan drone mulai semenjak 2015/2016 dimana pada saat itu drone sudah mulai banyak digunakan. Hal ini terkait juga dengan latar belakang saya sebagai dosen dibidang kehutanan khususnya geospasial dan remote sensing. Karena dikehutanan kemampuan ini sangat dibutuhkan. Pada saat itu saya kemudian banyak menonton youtube dan membaca artikel artikel terkait penggunaan dan pemanfaatan drone diluar negeri. Karna pada saat itu di Indonesia baru mulai booming khususnya penggunaan untuk foto dan video. Ternyata diluar negeri baik di eropa dan amerika pemanfaatannya sudah sangat jauh berkembang dan telah banyak digunakan di berbagai bidang ilmu.

Dari situlah keinginan saya untuk mengetahui lebih banyak tentang drone semakin tinggi. Karena saya beranggapan kalau kita memiliki drone sama saja kita memiliki “satelit kecil” setelit dengan kemapuannya sendiri. Hal ini menurut saya sangat luar biasa khususnya dibidang penelitian, ini akan menjadi katalisator penelitian-penelitan khususnya pada area yang cukup besar.

Pertengan 2016, awal saya pertama menyentuh drone bukan belajar menggunakannya, tetapi belajar untuk membuat sebuah drone. Pada saat itu saya membuat sebuah hexacopter, saya mempelajari bagaimana otak dari sebuah drone bekerjaa atau yang kita sebut dengan Flight Control. Pada saat itu hingga sekarang saya menggunakan Flight Control generasi Pixhawk (Pixhawk, Pixhawk Cube, Mini Pixhawk, Pixhawk 4 Mini, Pixhawk 4). Pixhawk adalah fight control yang dapat diinstal open source yang cukup popular yaitu ardupilot ataupun px4.  Hal ini  memungkinkan pengunanya melakukan banyak hal, yah tentunya termasuk konfigurasi untuk melakukan pemetaaan.

Pada saat itu, drone pertama saya hanya mampu terbang sekitar 10 menit dengan membawa camera NX2000, camera tersebut juga dimounting ke drone menggunakan Print 3D.

Terbang pertama drone tersebut langsung crash, dengan sekali gas. Ternyata penyebab crash tersebut bukan kerna salah konfigurasi, tetapi karena saya sama sekali belum pernah menerbangkan drone. Disamping itu lokasi tes hanya pada areal terbuka 3×3 hal ini tentunya sangat fatal. Banyak perbaikan setelah itu, dan sebelum menerbangkan lagi, saya kemudian membeli drone seharga 500.000an hanya untuk belajar menerbangkan drone. Beberapa hari saya tes mengunakan drone yang dibeli tadi, kemudian saya mencoba kembali menerbangkan drone yang telah saya buat. Alhamdulillah dapat terbang dengan normal, baik mode manual, cruise, dan stabilize, bahkan fungsi RTL nya telah berfungsi dengan baik pada saat battery nya low. Tentunya percobaan tersebut sudah dilakukan dilapangan yang memiliki tempat terbuka yang cukup luas.

Percobaan demi percobaan pun dilakukan sampai dimana sudah siap melakukan misi pemetaan pertamanya, yang akhirnya berhasil sesuai dengan harapan. Tetapi saya masih kurang puas khususnya terkait dengan flight time yang masih berkutit di 10 menit.

Panjang pembahasannya, sampai saya kemudian membuat drone sedikit lebih besar dengan diameter  1,1meter (110cm) berbahan carbon dengan memodifikasi banyak hal untuk membuat drone tersebut menjadi ringan. Menaikan voltase batter ke 6S (22v) dan menurunkan kv motor menjadi 330kv dan menaikan ukuran propeller hingga ke 18inchi. Pada saat ini hanya mampu terbang sekitar 18 – 20 menit.  Dengan fitur, sama sekali tidak menggunakan remote, sudah dapat hanya menekan enter di laptop drone nya sudah terbang, jalan kan misi pemetaan, kembali dan mendarat sendiri.

Tetapi beberapa kali menerbangkan drone ini, dengan beberapa kejadian saya kemudian menanggap drone ini sangat berbahaya dan bisa jadi memunculkan resiko resiko parah dikemudian harinya jika tidak benar benar dilakukan perawatan, dan mitigasi dengan tepat. Disamping itu dari segi luasan saya menyadari untuk drone dengan type multirotor kurang tepat dikembangkan untuk penggunaann pada areal yang cukup luas khususnya dibidang kehutanan.

Banyak sumber sumber inspirasi pada saat itu misalnya ebee parrot company, dan questuav adalah tipe fixed wing yang dapat memetakan dengan skala diatas 150ha/fligtnya. Akhirnya saya kemudian membuat drone tipe fixed wing yang pertama kalinya dengan kit Bufallo. Merakit drone fixed wing dengan model flywing ternyata jauh sangat sederhana lebih simple dan lebih murah dibanding Multirotor, dan lebih menghemat biaya dan cakupan luasan justru semakin besar.  Tetapi saya kemudian menemukan kendala baru dalam pengoprasian tipe ini. Yaitu waktu loading khususnya pada saat pre flight, penyiapan take off. Karena membutuhkan catapult untuk meleparkannya. Dengan lebar kurang lebih 2 meter drone ini tidak dapat dibuang atau dilempar dengan tangan kosong apa lagi full loading (battery dan camera) karena sangat sangat berbahaya. Drone ini sama belum pernah saya gunakan untuk mapping commercial, karena terkait dengan mobilitas dan loading pada saat preflight. Hal ini terkait dengan potongan badan dronenya berbentuk square lebar kurang lebih 1.2×1.2meter, dan pemasangan catapult pada saat dilapangan.

Mamasuki akhir 2017 dan 2018, saya kemudian banyak belajar untuk membuat drone VTOL (Vertikal Take Off and lading) pada saat itu saya banyak terinspirasi VTOL buatan foxtech yang modifikasi kit nimbus.  Saya banyak mengabiskan uang untuk belajar disini (jadi jangan tanya berapa uang yang habis hhehehe). Kurang lebih 2 bulan, tiap 1-2 hari pulang balik untuk melakukan uji coba penerbangan VTOL selalu saja gagal, nanti bulan maret 2018 terbang perdana VTOL tersebut akhirnya sukses. Banyaknya kegagalan tersebut membuat banyak pengalaman yang mungkin tidak bisa dibayarkan dengan uang.  Dari situ juga saya mengetahui ada 2 kekurangan VTOL yang dikeluarkan oleh Foxtech atas konfigurasinya. Khususnya terkait  flight time yang bersumber dari konfigurasi motor dan konfigurasi battery.

Tidak cukup seminggu dari berihasilnya ujicoba VTOL tersebut saya kemudian langsung menurunkannya untuk melakukan pemetaan di Kabupaten Jayapura dan Keerom di Pronvisi Papua. Dari puluhan kali terbang berkisar 45 menitan battery masih tersisa 50-60 persen. Satu kali flight ini tidak kurang 500ha bisa didapatkan, dengan kecapatan berkisar 14-16m/s. Pada saat tersebut saya sudah menggunakan Camara Sony RX100 RGB, dan RX100 NIR. Saya juga dapat memasang camera mapir NDVI, NIR. Pada prinsipnya kita dapat mengkonfigurasi kamera/sensor jenis apa saja yang kita ingin atau butuhkan.

 

Beberapa setelah tersebut, saya kemudian diminta memetakan kurang lebih 70.000 ribu hektar dalam waktu 2 minggu saja. Dan menurut saya dengan konfigurasi VTOL yang saya miliki akan terkesan memaksakan alat tersebut untuk menyelesai luasan tersebut hanya dengan satu hawana dan 4 battery. Akhirnya saya kemudian merakit drone tipe fixed wing twin motor, tanpa percobaan yang panjang drone tersebut menyelesaikan nya sesuai dengan perimintaan pada saat itu. Drone ini dapat terbang sekitar 1,5 jam hingga 2jam dengan cakupan luasan 2.000-3.000ha/flight (tergantung kondisi angin) menggunakan camera sony Alpha 5100. Dari pengalaman ini untuk tipe twin motor saya sangat merekomendasikan pada misi misi yang berada dipegunungan dan membutuhkan performa yang sangat baik. Sekali lagi Drone hanyalah wahana yang kita gunakan untuk membawa atau mengerjakan suatu misi, tentunya camara atau sensor apapun dapat kita konfigurasikan dengan cakupan penggunaan yang sangat luas.

Belakangan saya pun sadar bahwa untuk memetakan wilayah yang kecil 500-2000 ha sangat tidak efisien menggunakan semua jenis drone tadi. Hal ini terkait dengan waktu loading, dan  operasional. Akhirnya saya pun membuat yang dapat menyerupai ebee parrot. Dimana ukurannya tidak terlalu besar dan kecil, cukup handal, dan tentunya dapat melakukan pemetaan. Termasuk dengan modifikasi camera mungil canon wx220 yang digunakan oleh ebee versi pertama. Dengan lebar sekitar 1.2 meter dan waktu terbang hingga 40 menit dapat memetakan hingga 300ha/flight pada kecapatan 17m/s

 

 

Naufal
KETUA REGIONAL APDI SULAWESI SELATAN

Laboratorium Geospasial & Perubahan Iklim
Fak.Pertanian. Program Studi Kehutanan
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ARTIKEL, EDUKASI , , , ,